
Analisis Tematik SNPHAR 2024 Tunjukan Separuh Anak Indonesia Alami Kekerasan, Kemen PPPA Serukan Kolaborasi Nasional
Siaran Pers Nomor: B-519/SETMEN/HM.02.04/12/2025
Jakarta (16/12) – Laporan Analisis Tematik Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2024 menunjukkan sebanyak 50,78 persen anak usia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami sedikitnya satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Temuan ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak masih menjadi persoalan serius dan memerlukan upaya komprehensif. Melalui diseminasi Analisis Tematik SNPHAR, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong kolaborasi lintas sektor dalam pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak secara berkelanjutan dan terkoordinasi.
“Berdasarkan laporan analisis tematik dari SNPHAR Tahun 2024 yang diluncurkan, kami menemukan fakta bahwa kekerasan terhadap anak merupakan fenomena kompleks yang bersumber dari berbagai faktor. Faktor tersebut meliputi kerentanan individu, dinamika keluarga, kondisi lingkungan sosial, hingga norma masyarakat yang masih permisif terhadap kekerasan dan ketidaksetaraan gender. Hasil survei mencatat bahwa 70 persen kekerasan yang dialami anak merupakan kekerasan berulang. Bahkan, 3,48 persen anak mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus, mulai dari fisik, emosional, dan seksual. Dampaknya, terdapat indikasi pada para korban anak bahwa mereka mengalami trauma kompleks dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental serta perkembangan mereka,” ungkap Plt. Deputi Perlindungan Khusus Anak, Ratna Susianawati.
Ratna menegaskan bahwa temuan SNPHAR bukanlah sekadar kumpulan angka, melainkan representasi dari suara anak-anak Indonesia yang harus segera direspon. Lebih lanjut, ditekankan pula bahwa anak sering kali disakiti oleh orang-orang yang semestinya melindungi dan mencintai mereka. Oleh karenanya, perlindungan anak bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban moral, konstitusional, dan kemanusiaan.
Analisis SNPHAR 2024 juga memperlihatkan rangkaian faktor risiko yang bekerja pada berbagai tingkatan. Di tingkat individu, anak-anak yang menyaksikan kekerasan memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menjadi korban. Pada tingkat mikrososial yang mencakup relasi anak dengan keluarga, teman, dan sekolah—hubungan yang tidak hangat dengan orang tua dan minimnya dukungan emosional meningkatkan risiko kekerasan secara signifikan. Di tingkat sosial, lingkungan yang tidak aman, lemahnya kepercayaan terhadap masyarakat sekitar, serta kuatnya norma permisif terhadap kekerasan dan diskriminasi gender memperbesar risiko kekerasan dalam jangka pendek maupun panjang. Sebaliknya, sikap yang mendukung kesetaraan gender dan penolakan terhadap kekerasan terbukti menjadi pelindung bagi anak, terutama anak perempuan.
“Kekerasan terhadap anak adalah isu lintas sektor yang menyentuh ranah hukum, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan digital, pembangunan daerah, serta relasi keluarga. Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Dalam merespon hal tersebut, pemerintah akan memperkuat platform Satu Data Kekerasan terhadap Anak sebagai instrumen pemantauan terpadu,” kata Ratna.
Ratna turut menekankan pentingnya transformasi norma sosial melalui kampanye yang masif dan berkelanjutan. Lebih lanjut, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong kesetaraan gender serta mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
“Selain di tingkat pusat, kita juga perlu mendorong penguatan kapasitas di daerah dalam mencegah dan menangani kekerasan. Pengembangan UPTD PPA sebagai layanan terpadu yang juga harus kita dukung melalui penyediaan akses layanan psikososial yang setara bagi seluruh anak. Selain itu, peran institusi pendidikan sebagai ruang aman juga harus digalakan, serta penguatan kompetensi guru sebagai garda terdepan perlindungan anak menjadi agenda besar yang terus dipacu,” kata Ratna.
Dengan temuan SNPHAR 2024 ini, Kemen PPPA kembali menyerukan bahwa perlindungan anak tidak mungkin dilakukan tanpa kolaborasi menyeluruh. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, komunitas keagamaan, media, akademisi, dunia digital, pelaku usaha, hingga masyarakat umum memiliki peran penting dalam melindungi anak-anak Indonesia. Keluarga dan anak sendiri juga perlu terus didorong sebagai subjek aktif dalam upaya perlindungan.
“Perlindungan anak adalah fondasi masa depan bangsa. Tidak ada pembangunan yang dapat berjalan ketika anak-anak kita tidak aman. Mari kita jadikan kolaborasi sebagai kekuatan. Mari kita bangun Indonesia yang benar-benar menjadi rumah yang aman bagi setiap anak. Masa depan mereka adalah masa depan kita semua,” ungkap Ratna.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menyampaikan bahwa temuan SNPHAR 2024 menunjukkan tren kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi di ruang digital, terutama melalui platform komunikasi berbasis pesan isntan dan media sosial. Kondisi ini menuntut penguatan upaya pencegahan yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi, dengan menempatkan keluarga dan lingkungan pendidikan sebagai garda terdepan dalam membangun pengasuhan positif dan literasi digital yang aman bagi anak. Ia juga mendorong penguatan sistem perlindungan yang responsif, termasuk perluasan akses layanan konseling dan rehabilitasi bagi anak dan keluarga, sebagai bagian dari agenda pembangunan Indonesia tanpa kekerasan terhadap anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Tim Kerja Pembelajaran, Kesejahteraan dan Penghargaan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Tina Jupartini, menegaskan pentingnya peran guru dan satuan pendidikan dalam mencegah serta merespons kekerasan terhadap anak. Ia menyampaikan bahwa sekolah harus menjadi ruang aman yang mendukung tumbuh kembang anak secara utuh, melalui penguatan kompetensi guru dalam pembelajaran yang berorientasi pada kesejahteraan peserta didik, penguatan relasi positif guru dan siswa, serta penumbuhan budaya sekolah yang menjunjung tinggi nilai anti-kekerasan dan penghormatan terhadap hak anak.
BIRO HUMAS DAN UMUM
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id
- 16-12-2025
- Kunjungan : 161
-
Bagikan: